I.
PENGERTIAN
INTELEKTUAL
Istilah intelek berasal dari bahasa Inggris intellect yang menurut Chaplin (1981)
diartikan sebagai :
1.
Proses kognitif, proses
berpikir, daya menghubungkan, kemampuan menilai, dan kemampuan mempertimbangkan.
2.
Kemampuan mental atau
itelegensi.
Menurut Mahfudin
Shalahudin (1989) dinyatakan bahwa “intelek” adalah akal budi atau inteligensi
yang berarti kemampuan untuk meletakkan hubungan dari proses berfikir.
Selanjutnya, dikatakan bahwa orang yang intelligent adalah orang yang dapat
menyelesaikan persoalan dalam waktu yang lebih singkat, memahami masalahnya
lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat.
Menurut William Stern,
salah seorang pelopor dalam penelitian inteligensi, menyatakan inteligensi
adalah kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran
guna dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru.
Sedangkan Leis Hedison Terman berpendapat bahwa inteligensi adalah kesanggupan
untuk belajar secara abstrak. Di sini Terman membedakan antara concrete ability
yaitu kemampuan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat konkret abstract
ability, yaitu kemampuan yang bersifat abstrak. Orang dikatakan inteligen,
menurut Terman, jika orang tersebut mampu berpikir abstrak dengan baik.
Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa pengertian intelek tidak berbeda dengan pengertian
inteligensi yang memiliki arti kemampuan untuk melakukan abstraksi,serta
berpikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap
situasi baru.
II.
HUBUNGAN ANTARA INTELEK
DAN TINGKAH LAKU.
Kemampuan berpikir
abstrak menunjukkan perhatian seseorang pada kejadian dan peristiwa yang tidak
konkrit, seperti pilihan pekerjaan, corak hidup bermasyarakat, pilihan pasangan
hidup yang sebenarnya masih jauh di depannya, dan lain-lain. Bagi remaja, corak
perilaku pribadinya di hari depan dan corak tingkah lakunya sekarang akan
berbeda. Kemampuan abstraksi akan berperan dalam perkembangan kepribadiannya.
Mereka dapat memikirkan prihal itu sendiri. Pemikiran itu terwujud dalam
refleksi diri, yang sering mengalah ke penilaian tentang dirinya tidak selalu
diketahui orang lain, bahkan sering terlihat usaha seseorang untuk
menyembunyikan atau merahasiakannya.
Pikiran remaja sering
dipengaruhi oleh ide-ide dan teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap
situasi dan orang tua. Setiap pendapat orang tua dibandingkan dengan teori yang
diikuti atau diharapkan. Sikap kritis ini juga ditunjukkan dalam hal-hal yang
sudah umum baginya pada masa sebelumnya, sehingga tata cara, adat istiadat yang
berlaku di lingkungan keluarga sering terjadi adanya pertentangan dengan sikap
kritis yang tampak pada perilakunya.
Egosentrisme
menyebabkan kekakuan para remaja dalam berpikir dan bertingkah laku. Persoalan
yang timbul pada masa remaja adalah banyak berhubungan dengan pertumbuhan fisik
yang dirasakan mencekam dirinya, karena menyangka orang lain berpikiran sama
dan ikut tidak puas dengan penampilannya. Hal ini menimbulkan perasaan seolah-olah
selalu diamati orang lain, perasaan malu dan membatasi gerak-geriknya. Akibat
dari hal ini akan terlihat pada tingkah laku yang kaku.
Melalui banyak
pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang
lain, maka egosentrisme makin berkurang. Pada akhir masa remaja, pengaruh
egosentrisme sudah sedemikian kecilnya, sehingga remaja sudah dapat berpikir
abstrak dengan mengikutsertakan pendapat dan pandangan orang lain.
III.
KARAKTERISTIK
PERKEMBANGAN INTELEKTUAL REMAJA
Piaget membangi empat
tahapan perkembangan intelektual/ kognitif, yaitu (1) tahap sensori motoris,
(2) tahap praoperasional, (3) tahap operasional konkret dan (4) tahap
operasional formal. Setiap tahapan memiliki karakteristik tersendiri sebagai
perwujudan kemampuan intelek individu sesuai dengan tahap perkembangannya.
Adapun karakteristik
setiap tahapan perkembangan intelek tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Karakteristik Tahap
Sensori-Motoris
Tahap sensori-motoris ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai
berikut :
a.
Segala tindakannya
masih bersifat naluriah
b.
Aktivitas pengalaman
didasarkan terutama pada pengalaman indra
c.
Individu baru mampu
melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum mampu untuk
mengategorikan pengalaman
d.
Individu mulai belajar
menangani objek-objek konkret melalui skema-skema sensori-motorisnya.
Sebagai upaya lebih memperjelas karakteristik tahap sensori-motoris ini,
Piaget merinci lagi tahap sensori-motoris ke dalam enam fase dan setiap
fase memiliki karakteristik tersendiri.
a.
Fase pertama (0-1
bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
·
Individu mampu bereaksi
secara refleks
·
Individu mampu
menggerak-gerakkan anggota badan meskipun belum terkoordini
·
Individu mampu mengasimilasi dan
mengakomodasikan berbagai pesan yang diterima dari lingkungannya.
b.
Fase kedua (1-4 bulan)
memiliki karakteristik bahwa individu mampu memperluas skema yang dimilikinya
berdasarkan hereditas
c.
Fase ketiga (4-8 bulan)
memiliki karakteristik bahwa individu mulai dapat memahami hubungan antara
perlakuannya terhadap benda dengan akibat yang terjadi pada benda itu.
d.
Fase keempat (8-12
bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
·
Individu mampu memahami bahwa benda tetap ada
meskipun untuk sementara waktu hilang dan akan muncul lagi di waktu lain.
·
Individu mulai mampu
mencoba sesuatu
·
Individu mampu menentukan tujuan kegiatan
tanpa tergantung kepada orangtua
e.
Fase kelima (12-18
bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut
·
Individu mulai mampu
untuk meniru
·
Individu mampu untuk
melakukan berbagai percobaan terhadap lingkungannya secara lebih lancar
f.
Fase keenam (18-24
bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
·
Individu mulai mampu
untuk mengingat dan berpikir
·
Individu mampu untuk
berpikir dengan menggunakan simbol-simbol bahasa sederhana
·
Individu mampu berpikir
untuk memecahkan masalah sederhana sesuai dengan tingkat perkembangaan
·
Individu mampu memahami
diri sendiri sebagai individu yang sedang berkembang
2. Karakteristik Tahap Praoperasional
Tahap praoperasional ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut
:
a.
Individu telah
mengkombinasikan dan mentrasformasikan berbagai informasi
b. Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide
c. Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa
konkret, meskipun logika hubungan sebab akibat belum tepat
d. Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku
·
berpikir imajinati
·
berbahasa egosentris
·
memiliki aku yang
tinggi
·
menampakkan dorongan
ingin tahu yang tinggi dan
·
perkembangan bahasa mulai pesat.
3. Karakteristik Tahap Operasional Konkret
Tahap operasional konkret ditandai
dengan karakteristik menonjol bahwa segala sesuatu dipahami sebagaimana yang
tampak saja atau sebagaimana kenyataan yang mereka alami. Jadi, cara berpikir
individu belum menangkap yang abstrak meskipun cara berpikirnya sudah tampak
sistematis dan logis. Dalam memahami konsep, individu sangat terikat kepada
proses mengalami sendiri. Artinya, mudah memahami konsep kalau pengertian
konsep itu dapat diamati atau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan konsep
tersebut
4.Karakteristik Tahap Operasional Formal
Tahap operasional
formal ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
a.
Individu dapat mencapai
logika dan rasio serta dapat menggunakan absstrak
b. Individu mulai mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak
c. Individu mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotesis
d. Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan (forecasting) di masa depan
e. Individu mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga kesadaran
diri sendiri tercapai
f.
Individu mulai mampu
membayangkan peranan-peranan yang akan diperankan sebagai orang dewasa
g. Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan kepentingan
masyarakat di lingkungannya dan seseorang dalam masyarakat tersebut.
IV.
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Dalam hubungannya
dengan perkembangan intelegensi atau kemampuan berpikir remaja, ada yang
berpandangan bahwa suatu kekeliruan jika IQ dianggap bisa ditingkatkan, yang
walaupun perkembangan IQ dipengaruhi antara lain oleh faktor-faktor lingkungan.
Hal-hal yang mempengaruhi perkembangan intelek, antara lain bertambahnya
informasi yang disimpan dalam otak seseorang sehingga mampu berpikir refleksif,
banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah, dan adanya
perbedaan berpikir yang menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun
hipotesis-hipotesis yang radikal, serta menunjang keberanian anak memecahkan
masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.
Mengenai konstan tidaknya
intelegensi dalam waktu akhir-akhir ini masih merupakan diskusi yang terbuka.
Dari hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa intelegensi itu sama sekali tidak
sekonstan yang diduga sebelumnya. Penelitian longitudinal selama 40 tahun dalam
Institut Fels menunjukkan adanya pertambahan rata-rata IQ sebanyak 28 butir
antara usia 5 dan 17 tahun yang berarti kira-kira sama dengan usia pendidikan
di sekolah atau dipekerjaan.
Menurut hasil
penelitian Piaget, ada 4 faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan intelektual
(mental) anak, yaitu:
1. Kematangan (maturation). Perkembangan sistem saraf sentral, otak,
koordinasi motorik, dan proses perubahan fisiologis dan anatomis akan
mempengaruhi perkembangan kognitif. Faktor kedewasaan atau kematangan ini
berpengaruh pada perkembangan intelektual tapi belum cukup menerangkan
perkembangan intelektual.
2. Pengalaman Fisik (Physical Experience). Pengalaman fisik terjadi karena
anak berinteraksi dengan lingkungannya. Tindakan fisik ini memungkinkan anak
dapat mengembangkan aktivitas dan gaya otak sehingga mampu mentransfernya dalam
bentuk gagasan atau ide. Dari pengalaman fisik yang diperoleh anak dapat
dikembangkan menjadi matematika logika. Dari kegiatan meraba, memegang,
melihat, berkembang menjadi kegiatan berbicara, membaca dan menghitung.
3. Pengalaman Sosial (Social Experience). Pengalaman sosial diperoleh anak
melalui interaksi sosial dalam bentuk pertukaran pendapat dengan orang lain,
percakapan dengan teman, perintah yang diberikan, membaca, atau bentuk lainnya.
Dengan cara berinteraksi dengan orang lain, lambat laun sifat egosentris
berkurang. Ia sadar bahwa gejala dapat didekati atau dimengerti dengan berbagai
cara. Melalui kegiatan diskusi anak akan dapat memperoleh pengalaman mental.
Dengan pengalaman mental inilah memungkinkan otak bekerja dan mengembangkan
cara-cara baru untuk memecahkan persoalan. Di samping itu pengalaman sosial
dijadikan landasan untuk mengembangkan konsep-konsep mental seperti kerendahan
hati, kejujuran, etika, moral, dan sebagainya.
4. Keseimbangan (Equilibration). Keseimbangan merupakan suatu proses untuk
mencapai tingkat fungsi kognitif yang semakin tinggi. Keseimbangan dapat
dicapai melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi menyangkut pemasukan
informasi dari luar (lingkungan) dan menggabungkannya dalam bagan konsep yang
sudah ada padaotak anak. Akomodasi menyangkut modifikasi bagan konsep untuk
menerima bahan dan informasi baru.
V.
UPAYA MEMBANTU
PERKEMBANGAN INTELEK DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Ikhtiar pendidikan,
khususnya melalui proses pembelajaran, guru mengembangkan kemampuan intelektual
peserta didik adalah kesadaran pendidik terhadap kemampuan intelektual setiap
peserta didik harus dipupuk dan dikembangkan agar potensi yang dimiliki setiap
individu terwujud sesuai dengan perbedaan masing-masing. Menurut Conny Semiawan
(1984), penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif bagi pengembangan kemampuan
intelektual anak yang di dalamnya menyangkut keamanan psikologis dan kebebasan
psikologis merupakan faktor yang sangat penting.
Kondisi psikologis yang
perlu diciptakan agar peserta didik merasa aman secara psikologis sehingga
mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya adalah sebagai berikut :
1. Pendidik menerima peserta didik secara positif sebagaimana adanya tanpa
syarat (unconditional positive regard). Artinya, apapun keberadaan peserta
didik dengan segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima dengan baik, serta
memberi kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya setiap peserta didik memiliki
kemampuan intelektual yang dikembangkan secara maksimal.
2. Pendidik menciptakan suasana dimana peserta didik tidak merasa terlalu
dinilai oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap peserta didik dengan
berlebihan dapat dirasakan sebagai ancaman sehingga menimbulkan kebutuhan
pertahanan diri. Memang kenyataannya, pemberian penilaian tidak dapat
dihindarkan dalam situasi sekolah, tetapi paling tidak harus diupayakan agar
penilaian tidak mencemaskan peserta didik, melainkan menjadi sarana yang dapat
mengembangkan sikap kompetitif secara sehat.
3. Pendidik memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran,
perasaan dan perilaku peserta didik, dapat menempatkan diri dalam situasi
peserta didik, serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Dalam
suasana seperti ini, peserta didik akan merasa aman untuk mengembangkan dan
mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.
4. Memberikan suasanan psikologis yang
aman bagi remaja untuk mengemukakan pikiran-pikirannya sehingga terbiasa berani
mengembangkan pemikirannya sendiri. Disini berusaha menciptakan keterbukaan
(opennes), kehangatan (warmness), dan kekonkretan (concereteness).
Anak atau remaja akan
merasakan kebebasan psikologis jika orangtua dan guru memberi kesempatan
kepadanya untuk mengungkapkan pikiran atau perasaannya. Sebagai makhluk sosial,
mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam tindakan yang merugikan orang lain
atau merugikan lingkungan tidaklah dibenarkan. Hidup dalam masyarakat menuntut
untuk mengikuti aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku.
Teori Piaget mengenai
pertumbuhan kognitif sangat erat dan penting hubungannya dengan umur serta
perkembangan moral. Konsep tersebut menunjukkan bahwa aktivitas adalah sebagai
unsur pokok dalam pertumbuhan kognitif. Pengalaman belajar yang aktif cenderung
untuk memajukan pertumbuhan kognitif, sedangkan pengalaman belajar yang pasif
dan hanya menikmati pengalaman orang lain saja akan mempunyai konsekuensi yang
minimal terhadap pertumbuhan kognitif termasuk perkembangan intelektual.
Penting bagi pendidik
untuk mengetahui isi dan ciri-ciri dari setiap tahap perkembangan kognitif
peserta didiknya sehingga dapat mengambil keputusan tindak edukatif yang tepat.
Dengan demikian, dapat dihasilkan peserta didik yang memahami pengalaman
belajar yang diterimanya. Menyesuaikan sistem pengajaran dengan kebutuhan peserta
didik merupakan jalan untuk meninggalkan prinsip lama, yaitu guru tinggal
menunggu sampai peserta didik siap sendiri, kemudian baru diberi pelajaran.
Sekarang tidak demikian keadaannya.
Model pendidikan yang
aktif adalah model yang tidak menunggu sampai peserta didik siap sendiri,
tetapi sekolahlah yang mengajar lingkungan belajar sedemikian rupa sehingga
dapat memberi kemungkinan maksimal pada peserta didik untuk berinteraksi.
Dengan lingkungan yang penuh rangsangan untuk belajar tersebut, proses pembelajaran
yang aktif akan terjadi sehingga mampu membawa peserta didik untuk maju ke
taraf / tahap berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar