Jumat, 04 Januari 2013

Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus



A.    Defenisi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuh kembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.

B.      Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus yang paling banyak mendapat perhatian guru antara lain :
a.      Tunagrahita (Mental retardation)
Ada beberapa definisi dari tunagrahita, antara lain:
1.      American Association on Mental Deficiency (AAMD) dalam B3PTKSM, (p. 20) mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual; yang muncul sebelum usia 16 tahun; dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
2.      Definisi tunagrahita yang dipublikasikan oleh American Association on Mental Retardation (AAMR). Di awal tahun 60-an, tunagrahita merujuk pada keterbatasan fungsi intelektual umum dan keterbatasan pada keterampilan adaptif. Keterampilan adaptif mencakup area : komunikasi, merawat diri, home living, keterampilan sosial, bermasyarakat, mengontrol diri, functional academics, waktu luang, dan kerja. Menurut definisi ini, ketunagrahitaan muncul sebelum usia 18 tahun.
3.      Menurut WHO seorang tunagrahita memiliki dua hal yang esensial yaitu fungsi intelektual secara nyata di bawah rata-rata dan adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tututan yang berlaku dalam masyarakat.

b.      Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Menurut Eli M. Bower (1981), anak dengan hambatan emosional atau kaelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut:
1.      Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena factor intelektual, sensori atau kesehatan.
2.      Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru.
3.      Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
4.      Secara umum mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak menggembirakan atau depresi.
5.      Bertendensi kea rah symptoms fisik: merasa sakit atau ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.
c.       Tunarungu Wicara (Communication disorder and deafness)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
1.      Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),
2.      Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),
3.      Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),
4.      Gangguan pendengaran berat(71-90dB),
5.      Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB).
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
d.      Tunanetra (Partially seing and legally blind)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).

e.       Tunadaksa (physical disability)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

f.       Tunaganda (Multiple handicapped)
Menurut Johnston & Magrab, tunaganda adalah mereka yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat
g.      Kesulitan Belajar (Learning disabilities)
Anak dengan kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep.
Berikut adalah karakteristik anak yang mengalami kesulitan belajar dalam membaca, menulis dan berhitung:
1.      Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
2.      Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
3.      Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
4.      Kalau membaca sering banyak kesalahan
h.      Anak Berbakat (Giftedness and special talents)
Menurut Milgram, R.M (1991:10), anak berbakat adalah mereka yang mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument Stanford Binet (Terman, 1925), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan memimpin dan kemampuan dalam seni drama, seni tari dan seni rupa (Marlan, 1972).
Anak berbakat mempunyai empat kategori, sebagai berikut:
1.      Mempunyai kemampuan intelektual atau intelegensi yang menyeluruh, mengacu pada kemampuan berpikir secara abstrak dan mampu memecahkan masalah secara sistematis dan masuk akal.
2.      Kemampuan intelektual khusus, mengacu pada kemampuan yang berbeda dalam matematika, bahasa asing, music, atau ilmu pengetahuan alam.
3.      Berpikir kreatif atau berpikir murni menyeluruh. Pada umumnya mampu berpikir untuk menyelesaikan masalah yang tidak umum dan memerlukan pemikiran tinggi.
4.      Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil dan berbeda dengan yang lain.
Dari keempat kategori di atas, maka anak berbakat adalah mereka yang mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi intelektual, teknik, estetika, social, fisik (Freemen, J. 1975:120), akademik, psikomotor dan psikososial (Sisk,1987 dalam Amin, M. 1996:3).
C.    Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkbutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer (sementara) dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi: anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.
Untuk menangani ABK tersebut dalam setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus. Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa: pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Dalam hal ini, ada empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah, yaitu: peraturan perundang-undangan yang menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia (termasuk ABK temporer dan permanen) untuk memperoleh pelayanan pendidikan, memasukkan aspek fleksibilitas dan aksesibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Selain itu, menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peranan guru.
Di bawah ini beberapa strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus:
1.       Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efesien. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pembelajaran , antara lain:
a.       Berdasarkan pengolahan pesan terdapat dua strategi yaitu strategi pembelajaran deduktif dan induktf.
b.      Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu strategi pembelajaran ekspositorik dan heuristic.
c.       Berdasarkan pengaturan guru yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu.
d.      Berdasarkan jumlah siswa yaitu strategi klasikal, kelompok kecil dan individual.
e.       Beradsarkan interaksi guru dan siswa yaitu strategi tatap muka, dan melalui media.
Selain strategi yang telah disebutkan di atas, ada strategi lain yang dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan modifikasi perilaku.
2.      Strategi pembelajaran bagi anak berbakat
Strategi pembelajaran yang sesuai denagan kebutuhan anak berbakat akan mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam meneentukan strategi pembelajaran adalah :
a.      Pembelajaran harus diwarnai dengan kecepatan dan tingkat kompleksitas.
b.      Tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual semata tetapi juga mengembangkan kecerdasan emosional.
c.       Berorientasi pada modifikasi proses, content dan produk.
Model-model layanan yang biasa diberikan pada anak berbakat yaitu model layanan perkembangan kognitif-afektif, nilai, moral, kreativitas dan bidang khusus.
3.      Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita
Strtegi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita antara lain;
a.       Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan
b.      Strategi kooperatif
c.       Strategi modifikasi tingkah laku
4.      Strategi pembelajaran bagi anak tunadaksa
Strategi yang biasa diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui pengorganisasian tempat pendidikan, sebagai berikut:
a.       Pendidikan integrasi (terpadu)
b.      Pendidikan segresi (terpisah)
c.       Penataan lingkungan belajar
5.       Strategi pembelajaran bagi anak tunalaras
Untuk memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan model-model pendekatan sebagai berikut;
a.       Model biogenetic
b.      Model behavioral/tingkah laku
c.       Model psikodinamika
d.      Model ekologis
6.      Strategi pembelajaran bagi anak dengan kesulitan belajar
a.       Anak berkesulitan belajar membaca yaitu melalui program delivery dan remedial teaching
    1. Anak berkesulitan belajar menulis yaitu melalui remedial sesuai dengan tingkat kesalahan.
    2. Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu melalui program remidi yang sistematis sesuai dengan urutan dari tingkat konkret, semi konkret dan tingkat abstrak.
7.      Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu
Strategi yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara lain: strategi deduktif, induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal, kelompok, individual, kooperatif dan modifikasi perilaku.
yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan sekitarnya adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro (khusus) yang menjadi obyek filsafat pendidikan meliputi:
a.       Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (The Nature of Education).
b.      Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan (The Nature Of Man).
c.       Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan.
d.      Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
e.       Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
f.       Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar