A.
Hakekat Perilaku Manusia
Pengertian
perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa untuk berpendapat, berfikir,
bersikap, dan lain sebagainya yang merupakan refleksi dari berbagai macam
aspek, baik fisik maupun non fisik.
Perilaku
juga diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya,
reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi 2, yakni dalam bentuk pasif (tanpa
tindakan nyata atau konkrit), dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit),
Sedangkan dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan
yang dilakukan oleh makhluk hidup.
Hakekat
manusia adalah sebagai berikut :
a. Makhluk
yang memiliki tenaga
dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b. Individu
yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku
intelektual dan sosial.
c. yang
mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol
dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
d. Makhluk
yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai
(tuntas) selama hidupnya.
e. Individu
yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk
ditempati
f.
Suatu keberadaan yang
berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak
terbatas
g. Makhluk
Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan
jahat.
h. Individu
yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia
tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat
Proses Pembentukan Perilaku
Proses pembentukan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal
dari dalam diri individu itu sendiri, faktor-faktor tersebut antara lain :
1)
Persepsi
Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan sebagainya.
2)
Motivasi
Motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak untuk mencapai sutau tujuan
tertentu, hasil dari pada dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk
perilaku
3)
Emosi
Perilaku juga dapat timbul karena emosi, Aspek psikologis yang mempengaruhi
emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, sedangkan keadaan jasmani
merupakan hasil keturunan (bawaan), Manusia dalam mencapai kedewasaan semua
aspek yang berhubungan dengan keturunan dan emosi akan berkembang sesuai dengan
hukum perkembangan, oleh karena itu perilaku yang timbul karena emosi merupakan
perilaku bawaan.
4)
Belajar
Belajar diartikan sebagai suatu pembentukan perilaku dihasilkan dari
praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Barelson (1964) mengatakan bahwa
belajar adalah suatu perubahan perilaku yang dihasilkan dari perilaku
terdahulu.
B.
Kelakuan Perilaku Pada
Anak Autis
Perilaku
merupakan segala sesuatu yang diekspresikan melalui perkataan dan perbuatan dan
semuanya itu dapat kita lihat, rasakan, dan kita dengar baik dari diri sendiri
atau orang lain. Banyak perilaku Autisme yang berbeda dari perilaku normal,
disatu sisi ada perilaku yang berlebihan, disisi lain adalah penatalaksanaan
anak dengan gangguan Autisme secara terstrukur dan berkesinambungan.
Perilaku : Aktivitas,
perilaku dan interesnya sangat terbatas, diulang-ulang dan stereotipik
seperti dibawah ini :
·
Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada
suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk dipojok sambil
menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
·
Adanya suatu kelekatan pada suatu rutin atau ritual
yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi,
pakai piyama, menggosokkan kaki dikeset, baru naik ketempat tidur. Bila ada
satu diatas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan sangat
terganggu dan nangis teriak-teriak minta diulang.
·
Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang
diulang-ulang, seperti misalnya mengepak-ngepak lengan, menggerak-gerakan jari
dengan cara tertentu dan mengetok-ngetokkan sesuatu.
·
Adanya preokupasi dengan bagian benda/mainan tertentu
yang tak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk
dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu.
Anak-anak ini sering juga menunjukkan
emosi yang tak wajar, temper tantrum (ngamuk tak terkendali), tertawa dan
menangis tanpa sebab, ada juga rasa takut yang tak wajar.
Kecuali gangguan emosi sering pula
anak-anak ini menunjukkan gangguan sensoris, seperti adanya kebutuhan untuk
mencium-cium/menggigit-gigit benda, tak suka kalau dipeluk atau dielus.
Autisme Masa Kanak lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan dengan perbandingan 3 : 1.
Untuk
mengurangi masalah perilaku dan untuk meningkatkan kemampuan belajar dan
perkebangan anak sesuai atau paling sedikit mendekati anak seusianya dan
bersifat multi disiplin yang meliputi:
1. Terapi
prilaku berupa ABA(Applied Behaviour Analysis)
Terapi
prilaku didasarkan atas proses belajar dan mempunyai tujuan mengubah prilaku
yang tidak diinginkan menjadi prilaku yang diinginkan.
Pada
umumnya terapi prilaku ini ditujukan utuk dua hal yaitu :
a) Mengurangi
atau menghilangkan perilaku yang berlebihan (mengamuk, agresif, melukai diri
sendiri, teriak-teriak, hiperaktif tanpa tujua an prilku lain yang tidak
bermanfaat);
b) akan
memunculkan perilaku yang masih berkekurangan yaitu belum bias bicara, belum
mereson bila diajak berbicara, kontak mata yang kurang , tidak punya inisiatif,
tidak berinteraksi wajar dengan lingkungannya/kurang mampu bersosialisasi
Dibeberapa
tempat terapi di Indonesia, umumnya dilakukan terapi perilaku yang menggabungkan
berbagai metode menjai suatu rumusan
yang disesuikan dengan kebutuhan masing-masing kasus anak. Yang umum dipakai
sebagai dasarnya adalah ABA yng dikembangkan oleh Dr. Ivar Lovaas dan
dilaksanakan dengan cara DDT(Discrete Trial Training). Kurikulum dibuat secara
sistematis oleh Catherine Murice yang ditulis dalam buku
BehaviouralINtervention for Young Children with Autism. A Manual for Parents
and Professionals. Pro-Ed, Autism-Texas,1996.
Ada beberapa
tahapan dalam kurikulm tsb
diatas yaitu, tahap awal, tahap menengah dan tahap akhir. Tiap-tiap tahap terdiri dari enam kelompok
kemampuan, yaitu: mengikuti tugas/pekerjaan, imita/meniru, bahasa reseptif,
bahasa eksprisif, pre-akademik, dan Bantu diri. Untuk tahap mahir dimasukkan
kurikulum bahasa abstrak, akademik, serta keampuan sosialisasi kesiapan mask
sekolah.
2. Terapi
Biomedik.
Berdasarkan
temuan dari berbagai penelitian dalam bidang biologis, serta bukti-bukti yang
didapat dari pemeriksaan laboratorium, maka terjadi perubahan paradigma dalam
penanganan gangguan sprktrum Autisme. Paham yang sudah banyak diakui saat ini
adalah bahwa GSA adalah sindrom yang
komplek yang didsari atas adanya gangguan fisiolosis serta biokimia yang
mempengaruhi hasil akhir dalam gangguan kognitif, prilaku dan emosionalnya mak
gangguan biologisny harus dibenahi. Ini merupakan filosofi dari terapik
biomedik(Sasanti,2004:3).
3. Terapi
biomedik(medikamentosa);
Terapi
biomedik meliputi:
a) pemberian
obat-obatan (sesuai dengan gejala-gejala klinis/ hasil laboratorium yag
ditemuka). Juga bias diberikan: psikotropka, antibioik, antit jamur, anti
virus, anti parasit;
b) pengaturan
diet tanpa pengawet, tap pewarna buatan, pengaturan makanan dengan cara
eliminasi sementara dan rotasi, dll;
c) pemberian
enzim pencernaan;
d) pemberian
vitamin dan mineral;
e) asupan
lain,misalnya asam lemak esensial, asam amino, antioksidan, prebiotik,dll;
f) perbaikan
fungsi imunologi, sesuai dengan gangguannya;
g) chelation(pengeluaran
logam berat).
4. Terapi tambahan lain yaitu, terapi wicara,
terapi sensori integration, terapi musik, terapi diet,dll. Adapun tujuan dari
terapi Autisme adaah mengurangimasalah prilaku dan meningkatkan kemapuan
belajar serta meningkatkan perkembangan anak agar sesuai atau paling sedikit
mendekati anak seusianya.
Termasuk
disini adalah terapi sensori integrasi, tepi musik, terapi wicara, terapi
okupasi, terapi seni, terapi relaksasi, akupuntur, dll. Pemilihan jenis terapi
tambahan yang diperlukan untuk masing-masing anak tentu harus dipertimbangkan
dengan seksama melihat dariklinis yang menonjol serta target yang ingin
dicapai.
C.
Ekspresi Emosi Anak
Autis
Emosi merupakan respon individu
terhadap benda, orang, dan situasi. Respon ini dapat menyenangkan atau positif
tetapi dapat juga tidak menyenangkan atau negatif (Ekman, 1999). Secara
fisiologis, simtem limbik yang terdapat di dalam susunan syaraf manusia sering
dikaitkan dengan emosi ini (Kotter, et.al., 1997) sehingga gangguan pada sistem
limbik dapat mengakibatkan kesulitan mengendalikan emosi. Moetrasi (dalam
Azwandi, 2005) memberikan contoh reaksi mudah mengamuk, marah, agresif,
menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa stimulus yang
jelas sebagai akibat dari adanya gangguan pada sistem limbik. Selain itu anak
menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan tidak jelas,
membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut adalah contoh
reaksi emosi yang berujud perilaku sebagai akibat gangguan sistem limbik ini.
Bidang fungsional dari syaraf pusat yang juga berpengaruh
adalah pemrosesan sensorik. Individu yang mengalami gangguan pemrosesan
sensorik tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan
menafsirkannya dari berbagai sudut pandang. Pemrosesan emosional dapat
dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif atau kurang reaktif. Reaktifitas
sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan kesalahan dalam menafsirkan
informasi emosional yang diperoleh dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan
reaksi emosional yang tidak tepat (Greenspan dan Weider, 2006).
Dalam
kasus-kasus tertentu permasalahan emosi pada anak autistik sangat beragam bentuknya.
Temuan-temuan sebelumnya memperlihatkan adanya indikasi kelemahan penyandang
autis untuk mengenali emosi. Seperti yang ditulis Bahon-Cohen et al (dalam Castelli,
2005) yang menemukan kelemahan yang spesifik pada pengenalan emosi penyandang
autis terhadap ekspresi terkejut (belief-based expression) dibanding
emosi senang dan sedih (reality-based expression). Namun Castelli dalam
penelitiannya yang berjudul Understanding Emotions from Standardized Facial
Expression in Autism and Normal Development, tahun 2005 menemukan bahwa
anak penyandang autis dapat mengenali emosi dasar (Happines, Anger, Sadness,
Surprise, Fear, Disgust) melalui ekspresi wajah. Tidak hanya pada saat
mencocokkan gambar ekspresi wajah, tetapi juga
saat menamai masing-masing ekspresi tersebut.
Beberapa
penelitian terdahulu ditemukan bahwa anak autis mengalami ketidakmampuan untuk
melakukan kontak afeksi dengan orang lain dan sulit membaca ekspresi orang
lain, mengalami kesulitan mengenali emosi-emosi tertentu (Castelli, 2005), dan
kesulitan mengekspresikan emosinya. Sistem limbik salah satu bagian otak yang mengalami
kelainan pada anak autis memiliki peranan yang penting dalam proses emosi pada
anak autis. Gangguan pada sistem limbik yang merupakan pusat emosi
mengakibatkan anak autis kesulitan mengendalikan emosi, mudah mengamuk, marah,
agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa. Selain
itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan
tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut
(Moetrasi dalam Azwandi, 2005).
Salah
satu bidang fungsional dari syaraf pusat yang mengalami gangguan adalah pemrosesan
sensorik. Anak-anak dengan gangguan pemrosesan sensorik tidak dapat mengintegrasikan
data emosional yang masuk dan menafsirkannya dari berbagai susut pandang.
Pemrosesan emosional dapat dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif atau kurang
reaktif. Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan anak salah
menafsirkan informasi emosional dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan
reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim (Greenspan dan Weider, 2006).
Anak-anak
autistik mengalami dampak gangguan kemampuan biologis untuk menambahkan makna
pada persepsi harafiah. Anak-anak autis ini kesulitan untuk menganalisis dan
memahami komunikasi manusia dan akhirnya anak-anak autis ini juga kesulitan
untuk berkomunikasi. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan
pemahaman/ gangguan pervasif. Kognisi adalah mengenai pemahaman. Anakanak melihat,
mendengar, merasakan, dan mengecap. Mereka kemudian belajar untuk menghayati,
memahami, untuk berpikir abstrak. Pemahaman berhubungan dengan proses seperti
memperhatikan dan mengingat.
Gangguan
pemprosesan pada anak autistik yang dapat menyebabkan anak salah menafsirkan
informasi emosional dari sekelilingnya tersebut mengakibatkan reaksi emosional
yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan ketakutan.
Dalam pengenalan emosi anak autis memiliki strategi pengganti sehingga mereka
memiliki respon yang berbeda pula. Dalam beberapa teori dan penelitian mengenai
emosi pada anak autis didapatkan beberapa stimulus yang menimbulkan respon
emosi.
Anak
autis yang mengalami permasalahan pemrosesan sensorik dapat sangat peka atau kurang
peka pada rangsangan (Greenspan dan Wieder, 2006). Selain itu minat dan
keingintahuan anak autis terhadap benda sangat besar karena benda-benda lebih
dapat diduga. Biasanya anak autis lebih banyak belajar dengan bendabenda daripada
orang (Peeters, 2004). Respon anak autis terhadap benda-benda terlihat dari keinginan
untuk mengambil dan membawa benda tersebut kemana mereka pergi. Apabila benda-benda
tersebut diambil maka mereka akan menolak dan marah. Perilaku steriotip yang
dilakukan anak-anak autis adalah suatu cara mereka untuk mengendalikan emosi.
Tindakan menyakiti diri sendiri seperti, membenturkan kepala atau menarik
rambut sendiri dilakukan anak autis untuk menghindari rasa sakit yang lebih
besar dan menjadi fungsi komunikatif untuk mencari perhatian. Kembali pada
rutinitas dapat menjadi cara anak untuk menghindari dan mengontrol rasa takut
atau suatu cara untuk lari
dari situasi yang membingungkan (Azwandi, 2005).
Pengajaran Emosi Bagi Anak Autis
Salah satu hal yang sulit dipahami
oleh murid autis adalah membaca ekspresi wajah. Sebagian besar dari kita dapat
memahami pesan melalui ekspresi mata, mulut, atau gerak kepala. Namun tidak
demikian halnya bagi murid autis. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
membantu murid autis membaca ekspresi yaitu melalui permainan. Buatlah ekspresi
tertentu, misalnya tersenyum. Mintalah murid meniru lalu menebak arti ekspresi
tersebut. Cara lain yang dapat Anda gunakan yaitu dengan menggunakan guntingan
gambar wajah dari majalah atau cuplikan dari drama di televisi yang
menggambarkan emosi tingkat tinggi. Ketika suatu emosi telah diketahui,
tanyalah kepada murid apa alasan mereka menjawab demikian.
Ekspresi lain yang perlu dipahami adalah mata. Masyarakat
sering berasumsi bahwa murid autis tidak melakukan kontak mata. Hal ini
tidak sepenuhnya benar. Beberapa anak autis memang menghindari kontak mata,
khususnya dengan orang asing. Bagi mereka, melihat wajah seseorang seraya
mendengarkannya memberikan sensoris yang berlebihan dan mengurangi kemampuan
mereka untuk memahami perkataan orang tersebut. Cobalah untuk meminta murid
autis untuk melihat Anda ketika Anda berbicara. Mereka akan menatap Anda,
mengunci pandangan pada satu titik fokus, dan menjadi kebingungan.
Sebagai guru, tentunya merupakan kewajiban kita untuk
membantu mereka. Berikan mereka motivasi untuk melakukan kontak mata sebagai
respons ketika disapa. Akan tetapi, Anda perlu mengingat bahwa melakukan kontak
mata akan mengurangi kemampuan murid melakukan rangsangan lain, seperti
merespons perkataan Anda. Anda dapat mengatasinya dengan membuat aturan tentang
berapa lama sebaiknya kita mempertahankan kontak mata sebelum berkedip atau
mengalihkan pandangan. Secara bergiliran, mintalah setiap murid untuk berlatih.
Terakhir, jangan lupa untuk memberi pujian ketika murid sudah berhasil
melakukannya.
D.
Imajinasi
Anak Autis
Anak-anak memang memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi. Terkadang hal
tersebut dapat mempengaruhi prilakunya secara berlebihan. Salah satu bentuk
dari daya imajinasi anak yang sering ditemui adalah teman khayalan. Bagi anak
balita, teman tersebut bisa jadi sangat nyata sama dengan dirinya. (foto:
google)
Apakah buah
hati Anda sering berbicara sendiri atau seolah seperti memiliki teman khayalan
saat sedang beraktivitas? Jangan terburu-buru berprasangka mistik atau
menganggapnya memiliki indera keenam.
Berdasar
tahapan tumbuh kembang anak, kondisi itu wajar dialami anak saat memasuki usia
3-4 tahun. Yang perlu dikhawatirkan adalah ketika kondisi ini berlanjut hingga
usia lebih dari itu. Ada kemungkinan anak Anda menderita autis.
“Ini bisa
menjadi gejala awal autis,” kata Pemerhati dan juga Psikiater Anak, Dr Kresno
Mulyadi dalam acara Journalist Class Pfizer, di Wisma GKBI, Jakarta.
Kresno
menambahkan, meski masa-masa bergaul dengan teman imajiner termasuk normal
hingga usia empat tahun, namun sebaiknya orangtua tak membiarkan si kecil
menikmatinya. Cobalah mengajaknya melakukan aktivitas positif lainnya sehingga
konsentrasinya pada teman imajiner beralih. Misalnya, segera ajak ngobrol saat
anak sedang asyik dengan teman imajinernya.
Mengalihkan
perhatiannya adalah cara yang pas untuk mencegah kondisi itu berlanjut. “Jangan
biarkan anak terus menikmati kesendiriannya. Patut diwaspadai jika kondisi
berlanjut dan segera lakukan konsultasi kepada psikiater untuk segera
mendiagnosisnya,” katanya.
Menurutnya, rata-rata anak autis memiliki
daya imajinasi yang tinggi, termasuk berbicara sendiri dengan teman imajiner.
Melakukan terapi dini untuk mencegah autis dari gejala awal seperti ini adalah
langkah yang tepat. Kresno pun meyakini dengan terapi sedini mungkin bisa
menyembuhkannya dari gangguan seperti ini.
Autis
bukan hanya penyakit yang terjadi akibat gen, namun bisa
juga terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. “Jadi perlu waspada jika
gejala seperti cuek dan sibuk dengan dunianya sendiri, jangan dibiarkan
berlangsung lama. Jangan sampai kebiasaan itu masih melekat di usianya yang
semakin dewasa, karena penanganannya akan semakin sulit,” katanya.
Anak-anak
memang memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi. Terkadang hal tersebut dapat
mempengaruhi prilakunya secara berlebihan. Salah satu bentuk dari daya
imajinasi anak yang sering ditemui adalah teman khayalan. Bagi anak balita,
teman tersebut bisa jadi sangat nyata sama dengan dirinya.
Laura Davis dan Janis Keyser dalam
buku Becoming the Parent You Want to Be: A Sourcebook of Strategies for the
First Five Years mengatakan, teman khayalan biasa dialami oleh anak usia 3-6
tahun.