Rabu, 09 Januari 2013

Tujuan Belajar



Tujuan Belajar
Tujuan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi perubahan tingkah laku dari individu setelah individu tersebut melaksanakan proses belajar. Melalui belajar diharapkan dapat terjadi perubahan (peningkatan) bukan hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek lainnya. Selain itu tujuan belajar yang lainnya adalah untuk memperoleh hasil belajar dan pengalaman hidup. Benyamin S Bloom, menggolongkan bentuk tingkah laku sebagai tujuan belajar atas tiga ranah, yakni:
1.      Ranah kognitif berkaitan dengan perilaku yang berhubungan dengan berpikir, mengetahui, dan memecahkan masalah. Ranah kognitif menurut Bloom, et.al (Winkel, 1999; Dimyati & Modjiono, 1994) dibedakan atas 6 tingkatan dari yang sederhana hingga yang tinggi, yakni:
a.       Pengetahuan (knowledge), meliputi kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan.
b.      Pemahaman (comprehension), meliputi kemampuan menangkap arti dan makna dari hal yang dipelajari. Ada tiga subkategori dari pemahaman, yakni:
v  Translasi, yaitu kemampuan mengubah data yang disajikan dalam suatu bentuk ke dalam bentuk lain.
v  Interpretasi, yaitu kemampuan merumuskan pandangan baru
v  Ekstrapolasi, yaitu kemampuan meramal perluasan trend atau kemampuan meluaskan trend di luar data yang diberikan
c.       Penerapan (aplication), meliputi kemampuan menerapkan metode dan  kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru.
d.      Analisis (analysis), meliputi kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Analisis dapat pula dibedakan atas tiga jenis, yakni:
v  Analisis elemen, yaitu kemampuan mengidentifikasi dan merinci elemen-elemen dari suatu masalah atau dari suatu bagian besar.
v  Analisis relasi, yaitu kemampuan mengidentifikasi relasi utama antara elemen-elemen dalam suatu struktur.
v  Analisis organisasi, yaitu kemampuan mengenal semua elemen dan relasi dari struktur kompleks. 
e.       Sintesis (synthesis), meliputi kemampuan membentuk suatu pola baru dengan memperhatikan unsur-unsur kecil yang ada atau untuk membentuk struktur atau sistem baru. Dilihat dari segi produknya, sintesis dapat dibedakan atas:
v  Memproduksi komunikasi unik, lisan atau tulisan
v  Mengembangkan rencana atau sejumlah aktivitas
v  Menurunkan sekumpulan relasi-relasi abstrak
f.       Evaluasi (evaluation), meliputi kemampuan membentuk pendapat tentang sesuatu atau beberapa hal dan pertanggungjawabannya berdasarkan kriteria tertentu.

2.      Ranah afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, minat, aspirasi dan penyesuaian perasaan sosial. Ranah efektif menurut Karthwohl dan Bloom (Bloom.,et.al,1971) terdiri dari 5 jenis perilaku yang diklasifikasikan dari yang sederhana hingga yang kompleks, yakni:
a.       Penerimaan (reseving) yakni sensitivitas terhadap keberadaan fenomena atau stimuli tertentu, meliputi kepekaan terhadap hal-hal tertentu, dan kesediaan untuk memperhatikan hal tersebut.
b.      Pemberian respon (responding) yakni kemampuan memberikan respon secara aktif terhadap fenomena atau stimuli.
c.       Penilaian atau penentuan sikap (valuing) yakni kemampuan untuk dapat memberikan penilaian atau pertimbangan terhadap suatu objek atau kejadian tertentu.
d.      Organisasi (organization), yakni konseptualisasi dari nilai-nilai untuk menentukan keterhubungan diantara nilai-nilai.
e.       Karakterisasi, yakni kemampuan yang mengacu pada karakter dan gaya hidup seseorang.

3.      Ranah psikomotor mencakup tujuan yang berkaitan dengan keterampilan (skill) yang bersifat manual dan motorik. Ranah psikomotor menurut Simpson (Winkel, 1999;Fleishman & Quaintance, 1984) dapat diklasifikasikan atas:
a.       Persepsi (perception), meliputi kemampuan memilah-milah 2 perangsang atau lebih berdasarkan perbedaan antara ciri-ciri fisik yang khas pada masing-masing perangsang.
b.      Kesiapan melakukan suatu pekerjaan (set), meliputi kemampuan menempatkan diri dalam keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan.
c.       Gerakan terbimbing (mechanism), meliputi kemampuan melakukan gerakan sesuai contoh atau gerak peniruan.
d.      Gerakan terbiasa, meliputi kemampuan melakukan suatu rangkaian gerakan dengan lancar, karena sudah dilatih sebelumnya.
e.       Gerakan kompleks (complex overt response), meliputi kemampuan untuk melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari beberapa komponen secara lancar, tepat, dan efisien.
f.       Penyesuaian pola gerakan (adaptation), meliputi kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku.
g.      Kreativitas, meliputi kemampuan melahirkan pola gerak-gerik yang baru atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.

Tujuan pembelajaran
            Tujuan pembelajaran pada hakekatnya mempunyai kedudukan yang sangat penting. Tujuan pembelajaran ini merupakan landasan bagi:
a.        Penentuan isi (materi) bahan ajar.
b.      Penentuan dan pengembangan strategi pembelajaran.
c.       Penentuan dan pengembangan alat evaluasi.
Tujuan pembelajaran dapat diklasifikasikan atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum adalah pernyataan umum tentang hasil pembelajaran yang diinginkan yang mengacu pada struktur orientasi, sedangkan tujuan khusus adalah pernyataan khusus tentang hasil pembelajaran yang diinginkan yang mengacu pada konstruk tertentu.

            Tujuan umum pembelajaran dapat dibedakan atas:
1.      Tujuan yang bersifat orientatif, dapat diklasifikasikan pula atas 3 tujuan, yakni:
a)      Tujuan orientatif konseptual
Pada tujuan ini tekanan utama pembelajaran adalah agar siswa memahami konsep-konsep penting yang tercakup dalam suatu bidang studi.
b)      Tujuan orientatif prosedural
Pada tujuan ini tekanan utama pembelajaran adalah agar siswa belajar menampilkan prosedur.
c)      Tujuan orientatif teoritik
Pada tujuan ini tekanan utama pembelajaran adalah agar siswa memahami hubungan kausal penting yang tercakup dalam suatu bidang studi.

2.       Tujuan pendukung dapat diklasifikasikan menjadi 2 tujuan, yakni:
a)      Tujuan pendukung prasyarat, yaitu tujuan pendukung yang menunjukkan apa yang harus diketahui oleh siswa agar dapat mempelajari tugas yang didukungnya.
b)      Tujuan pendukung konteks, yaitu tujuan pendukung yang membantu menunjukkan konteks dari suatu tujuan tertentu dengan tujuan yang didukungnya.

Selain tujuan umum dan tujuan khusus di atas, terdapat pula tujuan pembelajaran yang lain yaitu untuk mengembangkan kemampuan, membangun watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka pencerdasan kehidupan bangsa.

Jenis – Jenis Tujuan Belajar
Dalam Sardiman (2001:26), di sebutkan ada tiga jenis tujuan belajar yakni:
a.       Untuk mendapatkan pengetahuan
Untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir diperlukan bahan pengetahuan. Tujuan inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini peranan gurusebagai pengajar lebih menonjol.
b.       Penanaman konsep dan ketrampilan
Penanaman konsep atau merumuskan konsep, juga memerlukan suatu ketrampilan. Ketrampilan di sini diartikan ketrampilan jasmani dan rohani.Ketrampilan jasmani menitikberatkan pada ketrampilan gerak dari anggotatubuh seseorang yang sedang belajar sedangkan ketrampilan rohanimenyangkut persoalan penghayatan, ketrampilan berpikir dan kreativitasuntuk menyelesaikan dan merumuskan suatu masalah atau konsep.
c.       Pembentukan sikap
Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik, tidak akan terlepas darisoal penanaman nilai-nilai, transfer of value. Oleh karena itu, guru tudak sekedar “pengajar”, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akanmemindahkan nilai-nilai itu kepada anak didiknya.

Selasa, 08 Januari 2013

Perilaku, Imajinasi, dan Emosi Anak Autis



A.    Hakekat Perilaku Manusia
            Pengertian perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa untuk berpendapat, berfikir, bersikap, dan lain sebagainya yang merupakan refleksi dari berbagai macam aspek, baik fisik maupun non fisik.
         Perilaku juga diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi 2, yakni dalam bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit), dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit), Sedangkan dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup.
Hakekat manusia adalah sebagai berikut :
a.      Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b.      Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
c.       yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
d.      Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
e.       Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
f.        Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
g.      Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
h.      Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat
 Proses Pembentukan Perilaku
Proses pembentukan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, faktor-faktor tersebut antara lain :
1)      Persepsi
Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan sebagainya.
2)      Motivasi
Motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak untuk mencapai sutau tujuan tertentu, hasil dari pada dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku
3)      Emosi
Perilaku juga dapat timbul karena emosi, Aspek psikologis yang mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, sedangkan keadaan jasmani merupakan hasil keturunan (bawaan), Manusia dalam mencapai kedewasaan semua aspek yang berhubungan dengan keturunan dan emosi akan berkembang sesuai dengan hukum perkembangan, oleh karena itu perilaku yang timbul karena emosi merupakan perilaku bawaan.
4)      Belajar
Belajar diartikan sebagai suatu pembentukan perilaku dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Barelson (1964) mengatakan bahwa belajar adalah suatu perubahan perilaku yang dihasilkan dari perilaku terdahulu.


B.     Kelakuan Perilaku Pada Anak Autis
         Perilaku merupakan segala sesuatu yang diekspresikan melalui perkataan dan perbuatan dan semuanya itu dapat kita lihat, rasakan, dan kita dengar baik dari diri sendiri atau orang lain. Banyak perilaku Autisme yang berbeda dari perilaku normal, disatu sisi ada perilaku yang berlebihan, disisi lain adalah penatalaksanaan anak dengan gangguan Autisme secara terstrukur dan berkesinambungan.

Perilaku : Aktivitas, perilaku dan interesnya sangat terbatas, diulang-ulang dan stereotipik seperti  dibawah ini :
·         Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk dipojok sambil menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
·         Adanya suatu kelekatan pada suatu rutin atau ritual yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi, pakai piyama, menggosokkan kaki dikeset, baru naik ketempat tidur. Bila ada satu diatas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan sangat terganggu dan nangis teriak-teriak minta diulang.
·         Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti misalnya mengepak-ngepak lengan, menggerak-gerakan jari dengan cara tertentu dan mengetok-ngetokkan sesuatu.
·         Adanya preokupasi dengan bagian benda/mainan tertentu yang tak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu.

         Anak-anak ini sering juga menunjukkan emosi yang tak wajar, temper tantrum (ngamuk tak terkendali), tertawa dan menangis tanpa sebab, ada juga rasa takut yang tak wajar.
         Kecuali gangguan emosi sering pula anak-anak ini menunjukkan gangguan sensoris, seperti adanya kebutuhan untuk mencium-cium/menggigit-gigit benda, tak suka kalau dipeluk atau dielus.
Autisme Masa Kanak lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3 : 1.
         Untuk mengurangi masalah perilaku dan untuk meningkatkan kemampuan belajar dan perkebangan anak sesuai atau paling sedikit mendekati anak seusianya dan bersifat multi disiplin yang meliputi:
1.      Terapi prilaku berupa ABA(Applied Behaviour Analysis)
Terapi prilaku didasarkan atas proses belajar dan mempunyai tujuan mengubah prilaku yang tidak diinginkan menjadi prilaku yang diinginkan.
Pada umumnya terapi prilaku ini ditujukan utuk dua hal yaitu :
a)      Mengurangi atau menghilangkan perilaku yang berlebihan (mengamuk, agresif, melukai diri sendiri, teriak-teriak, hiperaktif tanpa tujua an prilku lain yang tidak bermanfaat);
b)      akan memunculkan perilaku yang masih berkekurangan yaitu belum bias bicara, belum mereson bila diajak berbicara, kontak mata yang kurang , tidak punya inisiatif, tidak berinteraksi wajar dengan lingkungannya/kurang mampu bersosialisasi
         Dibeberapa tempat terapi di Indonesia, umumnya dilakukan terapi perilaku yang menggabungkan berbagai metode menjai  suatu rumusan yang disesuikan dengan kebutuhan masing-masing kasus anak. Yang umum dipakai sebagai dasarnya adalah ABA yng dikembangkan oleh Dr. Ivar Lovaas dan dilaksanakan dengan cara DDT(Discrete Trial Training). Kurikulum dibuat secara sistematis oleh Catherine Murice yang ditulis dalam buku BehaviouralINtervention for Young Children with Autism. A Manual for Parents and Professionals. Pro-Ed, Autism-Texas,1996.
         Ada beberapa tahapan dalam kurikulm tsb diatas yaitu, tahap awal, tahap menengah dan tahap akhir. Tiap-tiap tahap terdiri dari enam kelompok kemampuan, yaitu: mengikuti tugas/pekerjaan, imita/meniru, bahasa reseptif, bahasa eksprisif, pre-akademik, dan Bantu diri. Untuk tahap mahir dimasukkan kurikulum bahasa abstrak, akademik, serta keampuan sosialisasi kesiapan mask sekolah.
2.      Terapi Biomedik.
         Berdasarkan temuan dari berbagai penelitian dalam bidang biologis, serta bukti-bukti yang didapat dari pemeriksaan laboratorium, maka terjadi perubahan paradigma dalam penanganan gangguan sprktrum Autisme. Paham yang sudah banyak diakui saat ini adalah bahwa GSA adalah sindrom   yang komplek yang didsari atas adanya gangguan fisiolosis serta biokimia yang mempengaruhi hasil akhir dalam gangguan kognitif, prilaku dan emosionalnya mak gangguan biologisny harus dibenahi. Ini merupakan filosofi dari terapik biomedik(Sasanti,2004:3).
3.      Terapi biomedik(medikamentosa);
Terapi biomedik meliputi:
a)      pemberian obat-obatan (sesuai dengan gejala-gejala klinis/ hasil laboratorium yag ditemuka). Juga bias diberikan: psikotropka, antibioik, antit jamur, anti virus, anti parasit;
b)      pengaturan diet tanpa pengawet, tap pewarna buatan, pengaturan makanan dengan cara eliminasi sementara dan rotasi, dll;
c)      pemberian enzim pencernaan;
d)     pemberian vitamin dan mineral;
e)      asupan lain,misalnya asam lemak esensial, asam amino, antioksidan, prebiotik,dll;
f)       perbaikan fungsi imunologi, sesuai dengan gangguannya;
g)      chelation(pengeluaran logam berat).
4.       Terapi tambahan lain yaitu, terapi wicara, terapi sensori integration, terapi musik, terapi diet,dll. Adapun tujuan dari terapi Autisme adaah mengurangimasalah prilaku dan meningkatkan kemapuan belajar serta meningkatkan perkembangan anak agar sesuai atau paling sedikit mendekati anak seusianya.
         Termasuk disini adalah terapi sensori integrasi, tepi musik, terapi wicara, terapi okupasi, terapi seni, terapi relaksasi, akupuntur, dll. Pemilihan jenis terapi tambahan yang diperlukan untuk masing-masing anak tentu harus dipertimbangkan dengan seksama melihat dariklinis yang menonjol serta target yang ingin dicapai.

C.    Ekspresi Emosi Anak Autis
         Emosi merupakan respon individu terhadap benda, orang, dan situasi. Respon ini dapat menyenangkan atau positif tetapi dapat juga tidak menyenangkan atau negatif (Ekman, 1999). Secara fisiologis, simtem limbik yang terdapat di dalam susunan syaraf manusia sering dikaitkan dengan emosi ini (Kotter, et.al., 1997) sehingga gangguan pada sistem limbik dapat mengakibatkan kesulitan mengendalikan emosi. Moetrasi (dalam Azwandi, 2005) memberikan contoh reaksi mudah mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa stimulus yang jelas sebagai akibat dari adanya gangguan pada sistem limbik. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut adalah contoh reaksi emosi yang berujud perilaku sebagai akibat gangguan sistem limbik ini.
         Bidang fungsional dari syaraf pusat yang juga berpengaruh adalah pemrosesan sensorik. Individu yang mengalami gangguan pemrosesan sensorik tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya dari berbagai sudut pandang. Pemrosesan emosional dapat dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif atau kurang reaktif. Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan kesalahan dalam menafsirkan informasi emosional yang diperoleh dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat (Greenspan dan Weider, 2006).
         Dalam kasus-kasus tertentu permasalahan emosi pada anak autistik sangat beragam bentuknya. Temuan-temuan sebelumnya memperlihatkan adanya indikasi kelemahan penyandang autis untuk mengenali emosi. Seperti yang ditulis Bahon-Cohen et al (dalam Castelli, 2005) yang menemukan kelemahan yang spesifik pada pengenalan emosi penyandang autis terhadap ekspresi terkejut (belief-based expression) dibanding emosi senang dan sedih (reality-based expression). Namun Castelli dalam penelitiannya yang berjudul Understanding Emotions from Standardized Facial Expression in Autism and Normal Development, tahun 2005 menemukan bahwa anak penyandang autis dapat mengenali emosi dasar (Happines, Anger, Sadness, Surprise, Fear, Disgust) melalui ekspresi wajah. Tidak hanya pada saat mencocokkan gambar ekspresi wajah, tetapi juga
saat menamai masing-masing ekspresi tersebut.
         Beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa anak autis mengalami ketidakmampuan untuk melakukan kontak afeksi dengan orang lain dan sulit membaca ekspresi orang lain, mengalami kesulitan mengenali emosi-emosi tertentu (Castelli, 2005), dan kesulitan mengekspresikan emosinya. Sistem limbik salah satu bagian otak yang mengalami kelainan pada anak autis memiliki peranan yang penting dalam proses emosi pada anak autis. Gangguan pada sistem limbik yang merupakan pusat emosi mengakibatkan anak autis kesulitan mengendalikan emosi, mudah mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut (Moetrasi dalam Azwandi, 2005).
         Salah satu bidang fungsional dari syaraf pusat yang mengalami gangguan adalah pemrosesan sensorik. Anak-anak dengan gangguan pemrosesan sensorik tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya dari berbagai susut pandang. Pemrosesan emosional dapat dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif atau kurang reaktif. Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan anak salah menafsirkan informasi emosional dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim (Greenspan dan Weider, 2006).
         Anak-anak autistik mengalami dampak gangguan kemampuan biologis untuk menambahkan makna pada persepsi harafiah. Anak-anak autis ini kesulitan untuk menganalisis dan memahami komunikasi manusia dan akhirnya anak-anak autis ini juga kesulitan untuk berkomunikasi. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman/ gangguan pervasif. Kognisi adalah mengenai pemahaman. Anakanak melihat, mendengar, merasakan, dan mengecap. Mereka kemudian belajar untuk menghayati, memahami, untuk berpikir abstrak. Pemahaman berhubungan dengan proses seperti memperhatikan dan mengingat.
         Gangguan pemprosesan pada anak autistik yang dapat menyebabkan anak salah menafsirkan informasi emosional dari sekelilingnya tersebut mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan ketakutan. Dalam pengenalan emosi anak autis memiliki strategi pengganti sehingga mereka memiliki respon yang berbeda pula. Dalam beberapa teori dan penelitian mengenai emosi pada anak autis didapatkan beberapa stimulus yang menimbulkan respon emosi.
         Anak autis yang mengalami permasalahan pemrosesan sensorik dapat sangat peka atau kurang peka pada rangsangan (Greenspan dan Wieder, 2006). Selain itu minat dan keingintahuan anak autis terhadap benda sangat besar karena benda-benda lebih dapat diduga. Biasanya anak autis lebih banyak belajar dengan bendabenda daripada orang (Peeters, 2004). Respon anak autis terhadap benda-benda terlihat dari keinginan untuk mengambil dan membawa benda tersebut kemana mereka pergi. Apabila benda-benda tersebut diambil maka mereka akan menolak dan marah. Perilaku steriotip yang dilakukan anak-anak autis adalah suatu cara mereka untuk mengendalikan emosi. Tindakan menyakiti diri sendiri seperti, membenturkan kepala atau menarik rambut sendiri dilakukan anak autis untuk menghindari rasa sakit yang lebih besar dan menjadi fungsi komunikatif untuk mencari perhatian. Kembali pada rutinitas dapat menjadi cara anak untuk menghindari dan mengontrol rasa takut atau suatu cara untuk lari
dari situasi yang membingungkan (Azwandi, 2005).
          
Pengajaran Emosi Bagi Anak Autis
         Salah satu hal yang sulit dipahami oleh murid autis adalah membaca ekspresi wajah. Sebagian besar dari kita dapat memahami pesan melalui ekspresi mata, mulut, atau gerak kepala. Namun tidak demikian halnya bagi murid autis. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk membantu murid autis membaca ekspresi yaitu melalui permainan. Buatlah ekspresi tertentu, misalnya tersenyum. Mintalah murid meniru lalu menebak arti ekspresi tersebut. Cara lain yang dapat Anda gunakan yaitu dengan menggunakan guntingan gambar wajah dari majalah atau cuplikan dari drama di televisi yang menggambarkan emosi tingkat tinggi. Ketika suatu emosi telah diketahui, tanyalah kepada murid apa alasan mereka menjawab demikian.
         Ekspresi lain yang perlu dipahami adalah mata. Masyarakat sering berasumsi bahwa murid autis tidak melakukan kontak mata. Hal ini  tidak sepenuhnya benar. Beberapa anak autis memang menghindari kontak mata, khususnya dengan orang asing. Bagi mereka, melihat wajah seseorang seraya mendengarkannya memberikan sensoris yang berlebihan dan mengurangi kemampuan mereka untuk memahami perkataan orang tersebut. Cobalah untuk meminta murid autis untuk melihat Anda ketika Anda berbicara. Mereka akan menatap Anda, mengunci pandangan pada satu titik fokus, dan menjadi kebingungan.
         Sebagai guru, tentunya merupakan kewajiban kita untuk membantu mereka. Berikan mereka motivasi untuk melakukan kontak mata sebagai respons ketika disapa. Akan tetapi, Anda perlu mengingat bahwa melakukan kontak mata akan mengurangi kemampuan murid melakukan rangsangan lain, seperti merespons perkataan Anda. Anda dapat mengatasinya dengan membuat aturan tentang berapa lama sebaiknya kita mempertahankan kontak mata sebelum berkedip atau mengalihkan pandangan. Secara bergiliran, mintalah setiap murid untuk berlatih. Terakhir, jangan lupa untuk memberi pujian ketika murid sudah berhasil melakukannya.

D.    Imajinasi Anak Autis
Anak-anak memang memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi. Terkadang hal tersebut dapat mempengaruhi prilakunya secara berlebihan. Salah satu bentuk dari daya imajinasi anak yang sering ditemui adalah teman khayalan. Bagi anak balita, teman tersebut bisa jadi sangat nyata sama dengan dirinya. (foto: google)
Apakah buah hati Anda sering berbicara sendiri atau seolah seperti memiliki teman khayalan saat sedang beraktivitas? Jangan terburu-buru berprasangka mistik atau menganggapnya memiliki indera keenam.
Berdasar tahapan tumbuh kembang anak, kondisi itu wajar dialami anak saat memasuki usia 3-4 tahun. Yang perlu dikhawatirkan adalah ketika kondisi ini berlanjut hingga usia lebih dari itu. Ada kemungkinan anak Anda menderita autis.
“Ini bisa menjadi gejala awal autis,” kata Pemerhati dan juga Psikiater Anak, Dr Kresno Mulyadi dalam acara Journalist Class Pfizer, di Wisma GKBI, Jakarta.
Kresno menambahkan, meski masa-masa bergaul dengan teman imajiner termasuk normal hingga usia empat tahun, namun sebaiknya orangtua tak membiarkan si kecil menikmatinya. Cobalah mengajaknya melakukan aktivitas positif lainnya sehingga konsentrasinya pada teman imajiner beralih. Misalnya, segera ajak ngobrol saat anak sedang asyik dengan teman imajinernya.
Mengalihkan perhatiannya adalah cara yang pas untuk mencegah kondisi itu berlanjut. “Jangan biarkan anak terus menikmati kesendiriannya. Patut diwaspadai jika kondisi berlanjut dan segera lakukan konsultasi kepada psikiater untuk segera mendiagnosisnya,” katanya.

Menurutnya, rata-rata anak
autis memiliki daya imajinasi yang tinggi, termasuk berbicara sendiri dengan teman imajiner. Melakukan terapi dini untuk mencegah autis dari gejala awal seperti ini adalah langkah yang tepat. Kresno pun meyakini dengan terapi sedini mungkin bisa menyembuhkannya dari gangguan seperti ini.
Autis bukan hanya penyakit yang terjadi akibat gen, namun bisa juga terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. “Jadi perlu waspada jika gejala seperti cuek dan sibuk dengan dunianya sendiri, jangan dibiarkan berlangsung lama. Jangan sampai kebiasaan itu masih melekat di usianya yang semakin dewasa, karena penanganannya akan semakin sulit,” katanya.
Anak-anak memang memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi. Terkadang hal tersebut dapat mempengaruhi prilakunya secara berlebihan. Salah satu bentuk dari daya imajinasi anak yang sering ditemui adalah teman khayalan. Bagi anak balita, teman tersebut bisa jadi sangat nyata sama dengan dirinya.
         Laura Davis dan Janis Keyser dalam buku Becoming the Parent You Want to Be: A Sourcebook of Strategies for the First Five Years mengatakan, teman khayalan biasa dialami oleh anak usia 3-6 tahun.