A. Hak Anak Bergangguan Intelektual
Hak setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. Hak pendidikan
ini juga berlaku kepada anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat atau
yang biasa disebut difabel (different ability). Hak pendidikan adalah
merupakan bagian dari Hak Ekonomi, sosial dan budaya. Negara mempunyai
kewajiban (state obligation) untuk memenuhi (fulfill),
menghormati (to respect), dan melindungi (to protect) setiap hak
pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negaranya.
Pada pasal 28 C
Undang-undang Dasar 1945 pun dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, sehingga
jelas disini kewajiban negara dalam pemenuhan hak pendidikan adalah
memfasilitasi (to facilitate), memajukan (to promote),
menyediakan (to provide).
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil suatu
kesimpulan, bahwa bagi mereka yang mengalami kekurangan dan atau
kelainan fisik dan mental, di dalam UU RI No. 4/1997 tentang penyandang cacat,
dikategorikan sebagai penyandang cacat. Pemerintah dan masyarakat berkewajiban
memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan melalui berbagai
upaya pemberdayaan. Hal ini tercantum dalam UU No. 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional: pasal 5 ayat 2 ,” Warga Negara yang mengalami
kelainan fisik, emosional,mental, intelektual dan/atau sosial berhak mendapat
Pendidikan Khusus”. Pasal 32 ayat 1: “Pendidikan Khusus merupakan pendidikan
bagi peserta yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Kemudian
dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak: Pasal 49,
“Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”. Pasal 51, “Anak
menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang
sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan luar
biasa”. Oleh karena hal tersebut di atas, maka kami pada
kesempatan kali ini akan membahas lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban anak
gangguan intelektual.
B.
Hak Anak Bergangguan Intelektual Mendapatkan Pelayanan
Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak untuk
mendapatkan pengajaran. Demikian halnya dengan anak tunagrahita berhak untuk
mendapatkan pendidikan. Sekolah-sekolah untuk melayani pendidikan anak
luarbiasa (tunagrahita) yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah
berkebutuhan khusus. Sekolah untuk anak luar biasa terdiri dari :
1.
SLB
– A untuk anak Tunanetra
2.
SLB
– B untuk anak Tunarungu
3.
SLB
– C untuk anak Tunagrahita
4.
SLB
– D untuk anak Tunadaksa
5.
SLB
– E untuk anak Tunalaras
6.
SLB
– F untuk anak Berbakat
7.
SLB
– G untuk anak Cacat Ganda
Pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita/retadasi mental
dapat diberikan pada:
1) Kelas Transisi.
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan
khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas tansisi sedapat mungkin berada
disekolah regler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan
anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran
dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
2) Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,
C1).
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan
pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan
pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama
keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh di
kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C,
sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1
3) Pendidikan Terpadu.
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah
reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas
yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika
anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial
dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau
ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong
tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya
mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau
disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
4) Program Sekolah di Rumah.
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak
mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya:
sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK)
atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan
masyarakat.
5) Pendidikan Inklusif.
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan
Inklusi. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi
anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusi
diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama
dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas
inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) oarang guru, satu guru reguler dan satu
lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa
tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak
diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini
pelayanan pendidikan inklusi masih dalam tahap rintisan.
6) Panti (Griya) Rehabilitasi.
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat
berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya
memiliki kelainan ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program
di panti lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam pati ini terbatas
dalam hal:
a.
Pengenalan diri
b.
Sensori motor dan persepsi
c.
Motorik kasar dan ambulasi (pindak dari satu tempat ke
tempat lain)
d.
Kemampuan berbahasa dan komunikasi
e.
Bina diri dan kemampuan sosial.
C. Landasan Yuridis Formal
Hak-hak yang dimiliki anak berkebutuhan khusus dalam hal ini anak
yang memiliki gangguan intelektual berdasarkan pada landasan
yuridis formal meliputi:
1. UUD 1945
(Amandemen) pasal 31 ayat
(1) : “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan” ayat
(2) : “Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
2. UU No. 20 tahun 2003
Sistem Pendidikan Nasional :
Pasal 3
Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal 5
Ayat: (1): Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
ayat (2): Warga negara yang
mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus
Pasal 32
ayat (1): Pendidikan khusus
merupakan merupakan pendidikan bagi peserta peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
3. UU No. 23 tahun tahun 2002 tentang Perlindungan Perlindungan Anak
Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan
pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.
Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan
orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan.
Pasal 50
Pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 48 diarahkan pada :
a.
Pengembangan sikap dan
kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik
sampai mencapai potensi mereka yang optimal.
b.
Pengembangan penghormatan
atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi.
c.
Pengembangan rasa hormat
terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri,
nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan
peradabanperadaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri.
d.
Persiapan anak untuk
kehidupan yang bertanggungjawab.
e.
Pengembangan rasa
hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
Pasal 51
Anak yang menyandang cacat fisik
dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas
untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
4. UU No. 4 1997 tentang Penyandang Cacat
Pasal (5 )
“ Setiap penyandang cacat mempunyai
dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan”.
5. Deklarasi Bandung (Nasional)
“ Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif ” 8-14 Agustus 2004
a.
Menjamin setiap anak
berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesempatan
akses dalam segala aspek kehidupan, , baik dalam bidang pendidikan, kesehatan
sosial, ,kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi
generasi generasi penerus yang handal.
b.
Menjamin setiap anak
berkelainan dan anak anak berkebutuhan berkebutuhan khusus lainnya lainnya
sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi,
pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat,
tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik
secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun cultural.
Dari berbagai perangkat perundangan
yang telah ada tersebut ternyata masih belum menyadarkan masyarakat dan pelaku
pendidikan memberikan hak memperoleh pendidikan yang sama yang dimiliki anak
berkebutuhan khusus. Pemerintah melalui departemen pendidikan nasional
mngeluarkan himbauan yaitu surat edaran dirjen Dikdasmen yaitu:
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003 perihal Pendidikan inklusi: menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003 perihal Pendidikan inklusi: menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.
D. Kewajiban Anak Bergangguan Intelektual
Pada dasarnya setiap anak
berkewajiban untuk :
·
Menghormati orang tua, wali, dan guru;
·
Mencintai keluarga, masyarakat, dan memyayangi teman;
·
Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
·
Menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
Jadi, kewajiban ank
bergangguan intelektual kewajiban baginya disesuaikan dengan tingkat kemampuan
/ kecerdasannya.
mkasih atas info nya kk
BalasHapussalam kenal dari junior mu di plb unp
aq bp 2013
iya sama - sama....
Hapussemoga bermanfaat, sering2 mampir ke blog kk yaa... hehe
Ha blog anak wak kironyo makasih ya
BalasHapus